Model Etika dalam Bisnis, Sumber Nilai Etika, dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etika Manajerial
ETIKA BISNIS (2)
(SOFTSKILL)
Muthia Ratuzzahrah
17214658
3EA30
MODEL ETIKA DALAM BISNIS
Siapakah pihak
yang bertanggung jawab terhadap moral etika dalam perusahaan? Pihak yang
bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada
tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu:
(1) Immoral
Manajemen. Manajemen tidak bermoral didorong oleh kepentingan dirinya
sendiri, demi keuntungan sendiri atau perusahaan. Kekuatan yang menggerakkan
manajemen immoral adalah kerakusan/ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi
atau keberhasilan personal. Manajemen tidak bermoral merupakan kutub yang
berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji
karyawannya dengan gaji di bawah upah minimum atau perusahaan yang meniru
produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak
cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta, dan sebagainya
(Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough,Entrepreneurship and The New
Ventura Formation, 1996, hal. 21).
Contoh Kasus :
(2) Amoral Manajemen. Tujuan utama dari manajemen amoral adalah laba,
akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu
cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar
hukum atau norma etika. Yang terjadi pada manajemen amoral adalah bebas kendali
dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam
mengambil keputusan. Salah satu conoth dari manajemen amoral adalah penggunaan
uji kejujuran detektor bagi calon karyawan.
Contoh Kasus :
(3) Moral
Manajemen. Manajemen bermoral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan,
tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi
manajer bermoral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika
dalam perilaku.
Menurut pendapat
Michael Josephson, ada 10 prinsip etika yang mengarahkan perilaku, yaitu:
1)
Kejujuran, yaitu penuh kepercayaan, bersifat jujur,
sungguh-sungguh, terus-terang, tidak curang, tidak mencuri, tidak menggelapkan,
tidak berbohong.
2)
Integritas, yaitu memegang prinsip, melakukan
kegiatan yang terhormat, tulus hati, berani dan penuh pendirian/keyakinan,
tidak bermuka dua, tidak berbuat jahat, dan dapat dipercaya.
3)
Memeliharan janji, yaitu selalu menaati janji,
patut dipercaya, penuh komitmen, patuh, tidak menginterpretasikan persetujuan dalam
bentuk teknikal atau legalitas dengan dalih ketidakrelaan.
4)
Kesetiaan, yaitu hormat dan loyal kepada keluarga,
teman, karyawan, dan negara, tidak menggunakan atau memperlihatkan informasi
rahasia, begitu juga dalam suatu konteks profesional, menjaga/melindungi
kemampuan untuk membuat keputusan profesional yang bebas dan teliti, dan
menghindari hal yang tidak pantas serta konflik kepentingan.
5)
Kewajaran/keadilan, yaitu berlaku adil dan berbudi
luhur, bersedia mengakui kesalahan, memperlihatkan komitmen keadilan, persamaan
perlakuan individual dan toleran terhadap perbedaa, serta tidak bertindak
melampaui batas atau mengambil keuntungan yang tidak pantas dari kesalahan atau
kemalangan orang lain.
6)
Suka membantu orang lain, yaitu saling membantu, berbaik
hati, belas kasihan, tolong menolong, kebersamaan, dan menghindari segala
sesuatu yang membahayakan orang lain.
7)
Hormat kepada orang lain, yaitu menghormati
martabat orang lain, kebebasan dan hak menentukan nasib sendiri bagi semua
orang, bersopan santun, tidak merendahkan dan mempermalukan martabat orang
lain.
8)
Warga negara yang bertanggung jawab, yaitu selalu
mentaati hukum/aturan, penuh kesadaran sosial, dan menghormati proses demokrasi
dalam mengambil keputusan.
9)
Mengejar keunggulan, yaitu mengejar keunggulan
dalam segala hal, baik dalam pertemuan pesonal maupun pertanggungjawaban
profesional, tekun, dapat dipercaya/diandalkan, rajin penuh komitmen, melakukan
semua tugas dengan kemampuan terbaik, dan mengembangkan serta mempertahankan tingkat
kompetensi yang tinggi.
10) Dapat
dipertanggungjawabkan, yaitu memiliki dan menerima tanggung jawab atas
keputusan dan konsekuensinya serta selalu memberi contoh.
Contoh Kasus :
SUMBER NILAI-NILAI ETIKA
Secara garis besar
dimanapun kita berada maka kita akan dihadapkan pada 4 hal yang dipandang
sebagai sumber nilai-nilai etika dalam komunitas, yaitu :
1. Agama
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup
membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada
dasarnya agama memberikan ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku
para penganutnya. Menurut Kanter (2001) tidak mungkin orang dapat
sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama, karena (1) moralitas pada
hakikatnya bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik, jalan
terbaiknya adalah kita mengikuti perintah dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa,
sesuai dengan keyakinan kita (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan
manusia yang paling lama bertahan sejak dulu kala, sehingga moralitas dalam
masyarakat erat terjalin dengan kehidupan ber-agama (3) agama menjadi penjamin
yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan
antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk
mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.
Contoh Kasus :
2. Filosofi
Filosofi
juga menjadi acuan-acuan yang berkembang dalam proses pengambilan keputusan
yang bersumber dari nilai-nilai etika. Ajaran-ajaran ini berkembang dari hasil
pemikiran manusia dan terus berkembang dari tahun ke tahun.
Perkembangan
ajaran filosofi terhadap kemunculan etika bisnis yaitu :
·
Socrates (470-399 SM)
Socrates mempercayai bahwa manusia ada
untuk satu tujuan, dan bahwa salah dan benar memainkan peranan yang penting
dalam mendefinisikan hubungan seseorang dengan lingkungan dan sesamanya.
Socrates percaya bahwa kebaikan berasal dari pengetahuan terhadap diri dan pada
dasarnya manusia itu jujur. Munculnya sikap jahat merupakan sebuah bentuk salah
pengarahan terhadap diri seseorang. Dia juga memperkenalkan ide-ide hukum
moral, bahwa hukum moral lebih tinggi kedudukannya dibanding hukum manusia.
·
Plato (428-348 SM)
Republik (dalam bahasa Yunani Politeia
atau “negeri”) merupakan suatu bentuk uraian pandangan Plato terhadap keadaan
“ideal” dari sebuah negara. Dalam bukunya, Plato menjelaskan bahwa pemerintahan
yang ideal mengalami pergantian dalam lima tahun sekali, dimana sistem ini
banyak diterapkan oleh kehidupan bernegara saat sekarang ini. Plato berpendapat
bahwa keadaan ideal muncul sebagai hasil nilai-nilai kebajikan dan konsep kebenaran.
·
Aristoteles
Etika menurut Aristoteles adalah
perilaku jiwa yang baik yang menuntun kepada kebahagiaan dan kebenaran.
Keterbatasan pengetahuan tentang jiwa manusia tidak menjadi sebuah hambatan
untuk mendalami konsep etika. Filsuf Yunani kuno seperti Aristoteles
berpendapat bahwa jiwa manusia menginginkan sebuah kebahagiaan dan jiwa bahagia
lahir dari perbuatan yang bersumber dari kebajikan moral. Hal inilah yang
menjadi dasar perkembangan pola pemikiran barat dan keagamaan lain pada umumnya.
Contoh Kasus :
3. Budaya
Referensi penting lainnya yang dapat dimanfaatkan sebagai
acuan etika bisnis adalah pengalaman dan
perkembangan budaya, baik budaya dari suatu bangsa
maupun budaya yang bersumber dari berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami transisi akan melahirkan
nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang
diterima oleh suatu komunitas tertentu dan selanjutnya
diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu kelompok atau suatu komunitas yang lebih besar.
Budaya
adalah suatu sistem nilai dan norma yang diberikan pada suatu kelompok atau komunitas manusia dan ketika itu
disepakati atau disahkan bersama-sama sebagai
landasan dalam kehidupan (Rusdin, 2002).
Contoh Kasus :
4. Hukum
Hukum adalah perangkat aturan – aturan yang dibuat
oleh pemerintah dalam rangka untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara. Hukum menentukan ekspektasi – ekspektasi etika yang diharapkan dalam
komunitas dan mencoba mengatur serta mendorong pada perbaikan masalah – masalah
yang dipandang buruk atau tidak baik dalam komunitas. Sebenarnya bila kita berharap
bahwa dengan hokum dapat mengantisipasi semua tindakan pelanggaran sudah pasti
ini menjadi suatu yang mustahil. Karena biasanya hukum dibuat setelah
pelanggaran yang terjadi dalam komunitas.
Pada umumnya para pebisnis akan lebih banyak
menggunakan perangkat hukum sebagai cermin etika mereka dalam melaksanakan
aktivitasnya. Karena hukum dipandang suatu perangkat yang memiliki bentuk
hukuman/punishment yang paling jelas dibandingkan sumber-sumber etika yang
lain, yang cenderung lebih pada hukuman yang sifatnya abstrak, seperti mendapat
malu, dosa dan lain-lain. Hal ini sah-sah saja, tetapi ini akan sangat
berbahaya bagi kelangsungan bisnis itu sendiri. Boatright (2003) menyebutkan
ada beberapa alasan yang bias menjelaskan hal ini yaitu :
·
Hukum tidaklah cukup untuk mengatur semua aspek
aktivitas dalam bisnis, sebab tidak semua yang tak bermoral adalah tidak legal.
Beberapa etika dalam bisnis konsen pada hubungan interpersonal kerja dan
hubungan dengan para pesaing, yang sangat sulit diatur melalui undang-undang.
Contohnya adalah kasus persaingan para industri mie instan seperti yang
dijelaskan pada bab sebelumnya.
·
Karena hukum selalu dibuat setelah pelanggaran
terjadi, sehinga kita bias menyebut bahwa hukum selalun lambat dikembangkan
dibandingkan segala masalah-masalah etika yang timbul. Sisi lainnya adalah
biasanya untuk membuat suatu undang-undang atau aturan hukum akan membutuhkan
waktu panjang juga. Undang-undang tidak bisa dibuat begitu saja ketika ada
pelanggaran yang terjadi, tetapi akan melalui banyak tahap apalagi harus
melalui proses juridis, dan terkadang banyak pertimbangan-pertimbangan ketika
pembuatan undang-undang tersebut. Akhirnya banyak nilai-nilai yang ingin
ditegakkan dalam pembuatan undang-undang tersebut bisa melenceng dari tujuan utamanya.
Sebagai contoh adalah undang-undang tentang hak cipta terjadi diindonesia.
Sudah berpuluh tahun lamanya pelanggaran hak cipta terjadi diindonesia, tetapi
undang-undangnya baru berbentuk pada tahun 2002 kemarin. Begitu juga dengan
kasus ponografi terjadi diindonesia, hingga saat ini pun belum juga ditemui
kesepakatan bagaimana bentuk undang-undang ponografi itu sebenarnya
diindonesia.
·
Terkadang hukum atau undang-undang itu sendiri
selalu menerapkan konsep-konsep moral yang tidak mudah untuk didefinisikan
sehingga menjadi sangat sulit pada suatu ketika untuk memahami undang-undang
tanpa mempertimbangkan masalah-masalah moral.
·
Hukum sering tidak pasti. Walaupun suatu
kejadian atau aktivitas dianggap legal, serta hukum/undang-undang haruslah
diputuskan melalui pengadilan, dan dalam membuat keputusan, pengadilan selalu
mengacu pada pertimbangan-pertimbangan moral. Banyak orang juga berfikir bahwa
selama tindakannya tidak melanggar hukum adalah suatu yang benar walaupun apa
yang dilakukannya bisa dianggap tiadak bermoral.
·
Hukum kadang tidak bisa diandalkan, apalagi
jika bisnis itu berada pada suatu wilayah atau dari daerah yang tingkat
penegakan hukumnya sangat rendah. Contohnya, pada masa orde baru, pembentukan
peraturan dan undang-undang cenderung bergantung pada penguasa, sehingga
undang-undang atau aturan saat itu cenderung untuk menguntungkan pihak-pihak
tertentu yang dianggap memiliki hubungan erat denagn pemerintah pada saat itu
orang-orang yang menjadi kroni-kroni penguasa bisa menjadi orang yang kebal
hukum dan tidak bisa dijerat dan dijatuhi hukuman.
Contoh Kasus :
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ETIKA MANAJERIAL
Stainer (2006) menyebutkan ada beberapa faktor-faktor
yang mempengaruhi yaitu :
1. Leadership
Kepemimpinan
(Leadership) adalah kemapuan individu untuk mempengaruhi memotivasi, dan
membuat orang lain mampu memberikan kontribusinya demi efektifitas dan
keberhasilan organisasi. Menurut Handoko (2000 : 294) definisi atau pengertian
kepemimpinan telah didefiinisikan dengan berbagai cara yang berbeda oleh berbagai
orang yang berbeda pula.
Menurut
Stoner, kepemimpinan manajerial dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pengarahan dan pemberian pengaruh pada kegiatan-kegiatan dari sekelompok
anggota yang saling berhubungan tugasnya.
Ada
tiga implikasi penting dari definisi tersebut, antara lain:
·
Pertama, kepemimpinan menyangkut orang lain –
bawahan atau pengikut. Kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari
pemimpinan, para anggota kelompok membantu menentukan status/kedudukan pemimpin
dan membuat proses kepemimpinan dapat berjalan. Tanpa bawahan, semua kualitas
kepemimpinan seorang manajer akan menjadi tidak relevan.
·
Kedua, kepemimpinan menyangkut suatu pembagian
kekuasaan yang tidak seimbang di antara para pemimpin dan anggota kelompok.
Para pemimpin mempunyai wewenang untuk mengarahkan berbagai kegiatan para
anggota kelompok, tetapi para anggota kelompok tidak dapat mengarahkan
kegiatan-kegiatan pemimpin secara langsung, meskipun dapat juga melalui
sejumlah cara secara tidak langsung.
·
Ketiga, pemimpin mempergunakan pengaruh.
Dengan kata lain, para pemimpin tidak hanya dapat memerintah bawahan apa yang
harus dilakukan tetapi juga dapat memepengaruhi bagaimana bawahan melaksanakan perintahnya.
Kepemimpinan yang beretika menggabungkan antara
pengambilan keputusan yang beretika dan perilaku yang beretika. Tanggung jawab
utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan yang beretika dan
berperilaku yang beretika pula.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh
seorang pemimpin yang beretika (Blanchard & Peale; 1998) :
a.
Mereka berperilaku
sedemikian rupa sehingga sejalan dengan tujuannya dan organisasi.
b.
Mereka berlaku
sedemikian rupa sehingga secara pribadi, dia merasa bangga akan perilakunya.
c.
Mereka berperilaku
dengan sabar dan penuh keyakinan akan keputusan yang diambilnya dan dirinya
sendiri.
d.
Mereka berperilaku
dengan teguh. Ini berarti berperilaku secara etika sepanjang waktu, bukan hanya
bila dia merasa nyaman untuk melakukannya.
e.
Seorang pemimpin
etika, menurut Blanchard dan peale, memiliki ketangguhan untuk tetap pada
tujuan dan mencapai apa yang dicita-citakannya.
f.
Mereka berperilaku
secara konsisten dengan apa yang benar-benar penting. Dengan kata lain dia
tetap menjaga perspektif
Contoh Kasus :
2. Strategi
dan Perfomasi
Strategi
merupakan penetapan sasaran dan tujuan janngka panjang sebuah perusahaan, dan
arah tindakan serta alokasi sumber daya yang diperlukan untuk mencapai sasaran
dan tujuan itu. Keputusan-keputusan strategi memiliki karakteristik berikut :
·
Penting
·
Tidak mudah diganti
·
Melibatkan komitmen atas sumber daya
dalam waktu tertentu
Strategi
Bisnis dan Strategi Perusahaan
Terdapat dua sumber profitabiltas yang unggul (superior). Pertama,
perusahaan dapat melibatkan diri pada industri yang karena daya tarik
lingkungan industri, memperoleh pendapatan di atas tingkat pedapatan pesaing. Kedua,
apa pun tingkat profitabilitas dalam industrinya, perusahaan dapat memperleh
pendapatan pada tingkat pendapatan superior melalui keunggulan bersaing yang
dipertahankannya diatas pesaing-pesaingnya.
Strategi perusahaan berkaitan dengan keputusan-keputusan ke
mana bisnis seharusnya masuk dan keluar, dan bagaimana perusahaan seharusnya
mengalokasikan sumber daya di antara bisnis-bisnis berbeda yang dimasuki-nya. Strategi
bisnis berkaitan dengan cara-cara yang digunakan perusahaan untuk
mendapatkan keunggulan persaingan di dalam setiap bisnis utamanya.
Pada umumnya, strategi yang berhasil mengkombinasikan empat
karakteristik utama :
1)
Sasaran sederhana jangka panjang.
Landasan setiap strategi organisasi harus merupakan kejelasan dari sasaran.
Apabila tidak ada konsensus dan konsistensi terhadap sasaran, strategi tidak
akan dapat memberikan stabilitas dan kesatuan arah.
2)
Melalui analisis lingkungan pesaingan.
Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan yang umum dari konsumen anggota
masyarakat. Pemahaman tentang penilaian pasar saham, pandangan terhadap
kemungkinan potensi akuisisi, dan keahlian dalam mengiden-tifikasi dan memotivasi
para manajer (Mark & Spencer).
3)
Penilaian sumber daya yang obyektif.
Keberhasilan Mark & Spencer dalam jangka panjang dapat merefleksikan
kesadarannya akan sumber daya dan kemampuan utamanya. Termasuk reputasi yang
berhubungan dengan nama perusahaan dan merk, kemampuan untuk memotivasi
karyawan, keefektifannya dalam menangani kemitraan dengan para pemasok, serta
kemampuannya menangani dan mengendalikan mutu.
4)
Penerapan yang efektif.
Strategi yang paling cemerlang tidak akan berguna jika tidak diterapkan secara
efektif. Penerapan yang efektif memerlukan pembentukan kepemimpinan, struktur
organisasi, dan sistem manajemen yang memegang teguh komitmen dan koordinasi
seluruh pegawai, dan mobilisasi sumber daya untuk melengkapi strategi tersebut.
Contoh Kasus :
3. Karakteristik Individu
Perjalanan hidup suatu perusahaan tidak lain adalah
karena peran banyak individu dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam
perusahaan tersebut. Perilaku para individu ini tentu akan sangat mempengaruhi
pada tindakan-tindakan mereka ditempat kerja atau dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi karakter individu.
Faktor –faktor tersebut yang pertama adalah pengaruh
budaya, pengaruh budaya ini adalah pengaruh nilai-nilai yang dianut dalam
keluarganya. Faktor yang kedua, perilaku ini akan dipengaruhi oleh
lingkunganya yang diciptakan di tempat kerjanya. Faktor yang ketiga adalah
berhubungan dengan lingkungan luar tempat dia hidup berupa kondisi politik dan
hukum, serta pengaruh–pengaruh perubahan ekonomi. Kesemua faktor ini juga akan
terkait dengan status individu tersebut yang akan melekat pada diri
individu tersebut yang terwuju dari tingkah lakunya.
Contoh Kasus :
4. Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah sebuah sistem makna bersama yang dianut
oleh para anggota yang membedakan suatu organisasi dari organisasi-organisasi
lainnya. Sistem makna bersama ini adalah sekumpulan karakteristik kunci yang
dijunjung tinggi oleh organisasi.
Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian budaya organisasi
menurut beberapa ahli :
·
Menurut Wood, Wallace, Zeffane,
Schermerhorn, Hunt, Osborn (2001:391), budaya organisasi adalah sistem yang
dipercayai dan nilai yang dikembangkan oleh organisasi dimana hal itu menuntun
perilaku dari anggota organisasi itu sendiri.
·
Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti
yang dikutip oleh Munandar (2001:263), budaya organisasi adalah cara-cara
berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada
dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi.
·
Menurut Robbins (1996:289), budaya
organisasi adalah suatu persepsi bersama yang dianut oleh anggota-anggota
organisasi itu.
·
Menurut Schein (1992:12), budaya
organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan
memecahkan masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
dan mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada
anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar dalam
mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
Penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang,
secara keseluruhan, merupakan hakikat budaya organisasi.
·
Inovasi dan keberanian mengambil
risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani
mengambil risiko.
·
Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh
mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada
hal-hal detail.
·
Orientasi hasil. Sejauh mana
manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang
digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
·
Orientasi orang. Sejauh mana
keputusan-keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas
orang yang ada di dalam organisasi.
·
Orientasi tim. Sejauh mana
kegiatan-kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu-individu.
·
Sejauh mana orang bersikap agresif
dan kompetitif ketimbang santai.
·
Sejauh mana kegiatan-kegiatan
organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan
pertumbuhan.
Ciri-ciri Budaya Organisasi
Menurut Robbins (1996 : 289), ada 7 ciri-ciri budaya organisasi
adalah:
1)
Inovasi dan pengambilan resiko.
Sejauh mana karyawan didukung untuk menjadi inovatif dan mengambil resiko.
2)
Perhatian terhadap detail. Sejauh
mana karyawan diharapkan menunjukkan kecermatan, analisis dan perhatian
terhadap detail.
3)
Orientasi hasil. Sejauh mana
manajemen memfokus pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan
untuk mencapai hasil tersebut.
4)
Orientasi orang. Sejauh mana
keputusan manajemen memperhitungkan efek pada orang-orang di dalam organisasi
itu.
5)
Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan
kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, ukannya individu.
6)
Keagresifan. Berkaitan dengan
agresivitas karyawan.
7)
Kemantapan. Organisasi menekankan
dipertahankannya budaya organisasi yang sudah baik.
Dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik
ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini
menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota
mengenai organisasi itu, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara
para anggota berperilaku (Robbins, 1996 : 289).
Contoh Kasus :
Sumber :
https://dindadwinoviyanti.wordpress.com/2015/12/31/contoh-kasus-amoral-manajemen-dalam-etika-bisnis/
https://m.tempo.co/read/news/2003/11/04/05627427/ditjen-pajak-akan-usut-dugaan-penggelapan-pajak-im3






































Komentar
Posting Komentar